Sabtu, 12 Maret 2011

Ironi pengangguran kaum terpelajar

(Disampaikan oleh : SITI MUYASSAROTUL dalam rangka Hari Sarjana, 29 September 2009)

1. Tragedi pengangguran kaum terpelajar tersebut, bila dengan seksama, terasa miris. Betapa tidak, setiap tahun tidak sedikit Universitas yang akan meluluskan Sarjana, yang tentu menambah tumpukan kaum terpelajar menganggur. Bila ditelaah secara kritis, pengangguran tersebut disebabkan beberapa hal. Pertama, kompetensi lulusan yang masih rendah. Kecakapan sarjana dalam bidang studinya tidak menjangkau harapan publik sehingga gelar kesarjanaan yang disandang sering justru melahirkan ironi dan anomali yang menyedihkan. Dengan kemampuan yang pas-pasan, mereka akhirnya terlempar dari bursa kerja yang menuntut profesionalitas.

2. Kedua, tidak sesuai kebutuhan dunia kerja. Berbagai gelar kesarjanaan yang disandang tidak mempunyai peluang kerja strategis sehingga tumpukan sarjana tidak dapat tersalurkan secara seimbang. Jurusan-jurusan yang tidak marketable atau memang pasar kerja yang membatasi menjadikan sarjana kehilangan arah gerak langkahnya pasca lulus.

3. Ketiga adanya program studi yang jumlah lulusannya sudah terlalu melimpah. Jurusan itu terkhusus berada dalam jurusan ilmu sosial. Kajian ilmu sosial yang sangat beragam telah menghasilkan jumlah sarjana berjuta – juta. Akhirnya mereka menumpuk dalam “cuci gudang” yang tidak laku dalam bursa lapangan kerja. Terlebih, ilmu sosial berbasis pengalaman sehingga lapangan kerjanyapun lebih mengarah pada eksperimentasi yang penuh resiko.

4. Keempat, paradigma peserta didik dan stakeholder. Belajar di kampus sekadar dimaknai sebagai pencarian kerja sehingga proses belajar yang dijalani tidak begitu serius: asal lulus saja sebagai syarat fomalitas mencari kerja. Itu merupakan persoalan paling mendasar dalam konteks tragedi pengangguran kaum terpelajar Indonesia. Paradigma yang berorientasi job oriented telah menjadikan mahasiswa sebagai “ gelas tak berisi” sehingga dalam menerima materi pembelajaran dari kampus, mereka tidak mampu membaca secara kritis dan tidak melakukan eksperimentasi kritis yang eksperimental dalam kajian keilmuan yang ditekuninya. Hasilnya adalah peserta didik yang “ bergentanyangan” mencari kerja, tak tahu arah dan orientasi keilmuan yang menjadi disiplin belajarnya.

Merancang kerja masa depan yang memproyeksikan sarjana sebagai bagian dari penataan bangsa harus dimulai dari pergeseran paradigma – meminjam istilah Thomas Khun – sehingga kaum terpelajar tidak “terpenjara” dengan basis keilmuan yang ditekuninya. Sarjana harus keluar dari penjara penjurusan sehingga bisa bergerak leluasa dalam mencipta proyeksi kreatifitas masa depan yang lebih mencerahkan. Selain itu perlu dibangun etos kemandirian bagi mahasiswa sehingga ketika lulus kuliah, bukannya mencari lowongandalam bursa kerja , tapi mampu bergerak memproyeksikan lapangan kerja yang bisa mengurangi pengangguran masyarakat awam. Membangun etos kemandirian tentu harus berlatih secara serius ihwal menfasilitas enterpreneuship dan kecakapan hidup (life skill) sehingga berbagai terpaan menuju kemandirian bisa dijalani dengan sungguh dan nikmat. Dan bergurulah Muhammad yunus, seorang sarjana doktoral yang mendirikan Grameen Bank di Bangladesh. Dia keluar dari jebakan kampusnya, kemudian bergabung dengan rakyat kecilmendirikan koperasi warga bernama Garmeen Bank. Dengan Garmeen Bank-nya, M. Yunus sukses memberdayakan rakyat kecil pada 2006 mendapatkan Nobel Perdamaian Dunia. Spirit kemandirian yang dicontohkan M. Yunus pantas menjadi teladan Sarjana Indonesia sehingga kaum sarjana mampu membuktikan diri sebagai pelopor terbentuknya lapangan kerja, bukan beban Negara yang membuat bangsa semakin nestapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar