Rabu, 20 November 2024

Kelas Menengah Terjepit, Si Kaya Makin Kaya, Si Miskin Makin Miskin

 Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena "orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin" tengah terjadi. Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan bahwa tabungan masyarakat atau individu yang kurang dari Rp100 juta terus mengalami penurunan.


Pertumbuhan tabungan masyarakat yang kurang dari Rp100 juta dari Juli 2016 hingga Juli 2019 tercatat sebesar 26,3%. Sementara masyarakat dengan tabungan Rp100 juta hingga Rp200 juta di periode yang sama bertumbuh 29,4%.

Pertumbuhan ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi Juli 2021 hingga Juli 2024 yang hanya bertambah 11,9% untuk masyarakat dengan tabungan kurang dari Rp 100 juta dan naik 13,3% untuk masyarakat dengan tabungan Rp 100 juta hingga Rp 200 juta.

Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki tabungan di atas Rp 5 miliar atau yang banyak diisi oleh pihak korporasi, justru cenderung mengalami peningkatan yang signifikan. Pada Juli 2016 hingga Juli 2019 tercatat mengalami kenaikan sebesar 29,7% dan pada Juli 2021 hingga Juli 2024 kembali bertumbuh bahkan lebih tinggi yakni sebesar 33,9%.

Sementara itu, jutaan warga kelas menengah di Indonesia rentan 'turun kasta' ke kelas menengah rentan hingga kelompok rentan miskin. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Artinya ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.

Bankir-Bankir Akui Nasabah Kaya Makin Banyak

Sejumlah bankir pun mengakui bahwa memang saat ini terjadi peningkatan simpanan nasabah kelas menengah atas yang nominalnya Rp5 miliar ke atas. Sementara itu, jumlah tabungan nasabah kelas menengah bawah yang nominalnya Rp100 juta ke bawah tengah menurun.

Tren ini terjadi di bank swasta terbesar RI, Bank Central Asia (BCA), sebagaimana diakui oleh presiden direktur bank swasta terbesar RI itu, Jahja Setiaatmadja.

"Ini yang disebut K shaped," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (10/9/2024).

Istilah yang dimaksud Jahja itu merujuk pada jenis pemulihan berbentuk 'K' atau K-shaped recovery. Artinya, ada industri yang cepat pulih dan diuntungkan dan ada pula yang malah tertatih-tatih dan dirugikan.

Secara visual, bentuk pemulihan tersebut tampak bercabang dan menyerupai dua lengan huruf 'K', di mana ada sekelompok industri yang mengarah ke arah atas atau positif dan sisanya menjadi lengan bawah huruf 'K' alias ke teritori negatif. Dengan kata lain, kelas menengah dan industri tertentu memang mengalami keuntungan sementara kelas bawah dan industri tertentu terpuruk.

Bank Tabungan Negara (BTN) juga mengalami hal yang sama. Direktur Distribution and Institutional Funding BTN Jasmin mengakui bahwa pertumbuhan dana ritel kelas atas mengalami kenaikan.

"Trennya [pertumbuhan simpanan di BTN] sama ya, dengan bank lain. Yang Rp5 miliar ke atas tumbuh, yang Rp100 juta turun," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (10/9/2024).

Fenomena ini tidak menjadi masalah bagi likuiditas perbankan, terlebih pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) industri perbankan masih mencukupi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Juli 2024, DPK sebesar Rp 8.687 triliun, naik 7,72% yoy. Meskipun secara bulanan, DPK mengalami kontraksi sebesar 0,4%.

Namun, Jasmin menyebut jika tren kelas menengah turun kelas berlanjut dan mempengaruhi kemampuan mereka menabung, bakal berpengaruh terhadap kualitas kredit mereka.

Itu senada dengan yang dialami Bank Negara Indonesia (BNI). Direktur utama bank pelat merah tersebut, Royke Tumilaar mengakui fenomena ini sangat berpengaruh terhadap kenaikan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) dari kredit segmen usaha kecil menengah (UKM).

Kendati demikian, jumlah pertumbuhan tabungan di BNI secara keseluruhan tetap terjaga karena lagi-lagi, ditopang tabungan nasabah kaya yang meningkat.

"Tabungan dan kredit konsumtif tidak terlalu [terdampak fenomena kelas menengah dan daya beli menurun] karena segmen menengah atas masih OK," pungkas Royke.

Ternyata, pertumbuhan tabungan Rp5 miliar ke atas juga didukung oleh kompetisi perbankan menarik para nasabah tajir. Menurut Direktur Utama Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten atau BJB, Yuddy Renaldi, perbankan tengah berlomba meningkatkan suku bunga simpanan.

"Saat ini, menjelang akhir tahun, perbankan berlomba-lomba menaikkan suku bunga simpanan dan membidik segmen High Networth Individual (HNWI) yang rata-rata simpanan di atas Rp5 miliar, sehingga simpanan di atas Rp5 miliar tumbuh signifikan, sementara untuk segmen simpanan kisaran Rp100 juta, bunga yang diberikan dari perbankan kurang menarik kisaran di bawah 4%," terang Yuddy saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (10/9/2024).

Lantas, kata dia, nasabah memilih untuk menyimpan di alternatif produk investasi. Seperti obligasi yang diterbitkan pemerintah dengan saat ini kuponnya berkisar 6,35% hingga 6,45%, dengan nominal minimal Rp1 juta. Ada juga pilihan menyimpan di pasar uang dengan return 4% sampai 5% net.

"Untuk di bank bjb, pertumbuhan dana ritel cukup signifikan, salah satu yang menarik dengan adanya program-program tabungan dan menyasar semua segmen," tambah Yuddy, tanpa merincikan lebih lanjut pertumbuhan tabungan tersebut.

Sementara itu, CIMB Niaga juga was-was terhadap terhadap daya beli masyarakat yang tengah menurun. Walaupun demikian, presiden direktur bank swasta terbesar kedua RI Lani Darmawan mengatakan ada peningkatan tabungan kelompok masyarakat usia muda yang baru memiliki pekerjaan.

"Kelompok masyarakat muda usia first jobbers yang mulai punya tabungan juga naik. Low ticket size. Dan ini segment yang tidak terlalu price sensitive, karena low balance," ungkap Lani saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (10/9/2024).

Ia mengatakan CIMB Niaga fokus ke tabungan massal lewat kanal digital, agar biaya pendanaan atau cost of fund (CoF) dapat ditekan.

Bank Tetap Cuan, Orang Kaya Makin Kaya, Orang Miskin Makin Miskin

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan kondisi likuiditas perbankan nasional saat ini masih aman, bahkan beberapa bank berlimpah likuiditas.

"Karena di Indonesia ini kan kondisinya anomali, perbankannya bisa untung gede, perekonomiannya nyungsep, itu yang sedang kita alami sekarang ini. Kenapa itu bisa terjadi? Karena memang kondisinya berbeda dengan negara lain, di Indonesia ini bank bisa menikmati keuntungan tanpa menyalurkan kredit. Itu yang membuat perekonomian kita menjadi agak aneh." ucap Piter saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (10/9/2024).

Ia mengatakan pertumbuhan kredit nasional kepada segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saat ini "nyungsep." Adapun Bank Indonesia (BI) melaporkan pertumbuhan kredit UMKM melambat pada Juli 2024, naik 5,1% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 1.375,5 triliun, lebih lambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yakni 5,6% yoy.

"Jadi secara kegiatan ekonomi, kegiatan produktif dari perusahaan-perusahaan, khususnya di perusahaan besar itu menurun, tetapi bagi bank sendiri mereka mendapatkan keuntungan yang tinggi sekarang ini," pungkas Piter.

Di tengah kondisi seperti itu, terangnya, perbankan dapat menempatkan likuiditasnya di instrumen seperti SBN dan SBRI yang likuid. Sehingga, mereka memiliki margin yang cukup.

"Jadi, ketika pertumbuhan DPK kita menurun, terutama DPK yang rendah itu turun, bagi mereka tidak masalah. Karena yang paling penting bagi perbankan itu adalah rasio likuiditas mereka mencukupi, rasio keuntungan mereka mencukupi," tandas Piter.

Menurutnya, "anomali" ini hanya terjadi di Indonesia saja.

Selain ia menyebut bahwa fenomena "orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin" juga merupakan anomali lain sistem keuangan Indonesia.

"Karena dengan mereka menempatkan, sekarang kan bunga-bunga bank kan tinggi, mereka nggak usah cari duit buka warung kasus bakso, mereka taruh duit saja di deposito, uang mereka bertambah, sudah tumbuh uangnya," jelasnya.

"Jadi di Indonesia ini orang kaya itu yang terjamin pasti akan tambah kaya. Jadi DPK untuk orang kaya itu akan cenderung tumbuh lebih tinggi dibandingkan DPK masyarakat bawah, karena yang makan tabungan itu hanya terjadi pada level bawah."


sumber  : https://www.cnbcindonesia.com/market/20240910114151-17-570596/kelas-menengah-terjepit-si-kaya-makin-kaya-si-miskin-makin-miskin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar